Sabtu, 06 April 2013

Cinta Yang Berdarah (Cerpen)

Cinta Yang Berdarah Ini ceritaku. Seharusnya keluarga adalah pondasi awal untuk hidup bermasyarakat. Apa yang kudapat dalam keluargaku. Sejak kelahiranku, aku tak dianggap oleh ayahku. Ia sangat membeciku, karena bagiku aku adalah penyebab meninggalnya ibu. Ibuku meninggal saat melahirkanku. Menurut pembantu rumah, Bi Surti aku lahir di tengah malam, dengan cuaca yang sangat buruk hujan deras dan petir menyambar. Tak ada dokter yang mau membantu persalinan ibuku, hingga terpaksa memanggil ibu bidan tua, ibuku sudah tak kuat hidup, ibuku mengalami pendarahan hebat hingga kehabisan darah dan meninggal. Waktu kecilku aku menangis setiap ayahku marah dan memukul karena kesalahan yang kecil, karena tak mau makan, atau hanya karena tak menuruti perintahnya dan dilakukan dengan cepat. Bukan karena pukulan fisik yang membuatku sakit hati, namun lebih sakit karena ucapanku yang sering dia ucapkan bahwa aku anak pembawa sial, pembunuh. Itu ucapanku ayah ketika aku membuat kesalahan. Beranjak dewasa aku menjadi semakin terbiasa. Secara psikologis, aku menjadi lebih rentan, aku cenderung takut, introvert, dan pemalu. Ini semua karena kekerasan ayah selama bertahun-tahun. Aku pun tak diijinkan ayah untuk keluar, bersosialisasi, setiap hari, guru privat datang ke rumah untuk mengajari aku berbagai ilmu mulai dari politik, sastra, ekonomi, matematika, ya aku anak home scholling. Aku merasa beruntung, semua fasilitas tersedia, rumah besar, dengan kolam renang tepat ada di bawahku, begitu bangun aku mendapat ketenangan oleh birunya air di dalam kolam itu, sesekali pagi hari aku sempatkan berenang untuk menjaga stamina tubuhku. Ayahku menyediakan satu pembantu, yaitu Bi Surti. Ia dengan sabar, merawatku layaknya seorang ibu. Bi Surti sering bercerita tentang sosok ibuku. Ia begitu cantik, ramah, dermawan, dan lembut, sangat sayang pada ayahku, pantas saja ayahku begitu tidak ikhlas kehilangan sosok ibuku. Di siang hari, aku belajar bersama guru privatku, Pak Riswan, ia masih terbilang muda, lulusan IKIP, sekolah guru, umurnya saat itu sekitar 20 tahun saat aku belajar dengannya. Ia mengajarku berbagai ilmu dasar, yang paling kusuka darinya, adalah ilmu psikologi. Tempat favorit untuk belajar adalah gazebo (bangunan dari kayu) beralas tikar, dan jamuan teh jahe hangat yang disediakan Bi Surti menemani ku saat belajar . Darinya aku belajar banyak tentang pribadi seseorang, kenapa orang bisa menjadoi sangat keras, dan marah, itu karena kekecewaan, dan aku posisikan ayahku sering marah karena marah, sedih, dan kecewa keras atas meninggalnya ibu. Belakangan perangai ayah menjadi berubah layaknya monster, ia menjadi amat kasar, bukan lagi dengan fisik, namun kata-kata, ia katakan bahwa aku pembawa sial, penghacur rumah tangga, atau pembawa sial, semua bernada kasar dan negatif. Tak jarang sisi melankolis ku bergejolak kuat, aku ingin menangis, untunglah Pak Darman selalu menenangkan ku dan berpesan untuk selalu mendoakan nya, Pak Darman selalu berpesan sebenarnya yang paling kasihan adalah ayahmu karena ia menyakiti dirinya dengan melampiaskan ke anaknya. Kelakuan nya bertambah umur makin aneh, sering membawa perempuan muda, berpakaian seksi, dan tertawa becanda , bermesraan di dalam kamar mewahnya, rumah besar ini sekarang tak beda seperti sarang PSK. Terakhir ada dua perempuan dijadikan menjadi simpanan di rumah, dan kumpul kebo, tanpa ada ikatan pernikahan resmi. Kegelapan hati mengisi ruangan hidup ayahku, hari demi hari makin sering menghina dan memarahiku. Mendidik ku dengan cara kasar dan kejam, tanganku sering lebab, punggungku juga lecet karena cambukannya. Aku makin keras dan bersikukuh dengan pendirianku, tak jarang aku mulai berani melawan apa yang diucapkan ayahku. Kata-kata negatif yang keluar dari mulut bandot tua itu kusangkal, kata-kata bodoh, pembawa sial kukembalikan. Aku tak bermaksud kurang ajar, yang kutakutkan adalah ketika kata-kata petuah ayahku akan menjadi kenyataan, aku percaya kata-kata diucapkan akan menjadi doa. Ketika cambuk melayang ke atas badanku, aku hanya bisa menahan tangis, aku berusaha memperlihatkan bahwa aku kuat, aku perkasa menahan segala kekerasan fisik padaku, namun yang kulawan hanya kata-kata kasarnya saja. Semakin kata-kata nya kusangkal dan tolak, makin kejam juga perlakuan fisik ayah padaku. Hampir tiap malam, dengan sabar Bi Surti mengobati lebab hasil kekerasan ayahku, Bi Surti mengompres luka-luka dengan air hangat, dan mengoleskan obat, belum juga luka lebab lama pudar, muncul lagi luka baru. Aku masih mampu menahan dengan sedikit meringis ketika dioleskan obat, sakit hati ku yang lebih perih adalah dari kata-kata negatif ayahku. Rasanya menyakitkan hatiku, Sungguh pedih Suatu malam, ketika Bi Surti mengobati luka-lukaku, ia bercerita tentang masa muda ayah. Ia bercerita, ayahku adalah orang yang kaya, terpandang, ramah, dan dermawan. Jiwa sosial nya tinggi, setiap bulan rutin menyantuni anak-anak yatim di panti asuhan “Kasih” . Ia juga orang pengertian dan yang paling dihormati adalah para perempuan yang membantu ia sukses, pertama adalah ibu nya, istri, dan pembantu setianya, orang yang sedang bercerita, Bi Surti. Dalam melangkah, ia terlebih dahulu meminta saran dari ketiga orang terpenting dalam hidupnya. Kebahagiaan itu dengan cepat terenggut, ayah menjadi berubah total ketika istrinya meninggal. Ia sangat sedih dan kecewa, karena setelah usia pernikahan di usia 10 tahun, baru dikaruniai anak, dan akhirnya nyawa ibu terenggut dengan pengorbanan melahirkanku. Sekarang aku mengerti, terkadang benar juga kata ayah, aku pembawa sial. Namun kucoba tepis semua itu. Aku terus belajar dan membaca dengan serius buku-buku yang dibawakan Pak Riswan ke rumah. Aku sangat menyukai buku-buku bertema Psikologi dan kepribadian manusia. Ilmu yang menyenangkan dan menantang diperdalam, karena bersifat abstrak, tak mudah diterka dan ditebak, bisa didekati dan dikenal lewat hati, bahasa kasih, dan komunikasi. Semua itu membawaku ada hasrat dan impian untuk menyelamatkan dan mengembalikan sikap ayah di masa sebelum aku ada di dunia. Mampukah aku membantu ayahku keluar dari lingkaran kemaksiatan yang dibentuknya sendiri karena kekecewaan dan kesedihan mendalam? Ia mencoba memunafikkan dan melarikan diri, memanipulasi dirinya, menjadi pelarian dari masalah. Dalam malam-malamku aku berharap untuk mampu menyelesaikan masalah kepribadian ayahku. Namun kadang terbesit rasa sakit hati karena ulah kekerasan fisik, dan kata-kata yang menstimulusi dan meracuni otakku ini. Pak Riswan selalu berpesan untuk dapat membuka diri, melepaskan kepahitan, rasa sakit hati, dan memaafkan ayah. Orang yang paling harus kukasihi dan diselematkan bukan ayahku secara fisik, namun keadaan psikologi ayahku. Pernah suatu saat Pak Riswan memberikan saran, membawa teman dan gurunya seorang Psikolog perempuan, namun aku urungkan niatnya. Aku terkadang berpikir aku juga butuh bantuan psikolog untuk menyelamatkan batinku, namun sekarang aku belum terlalu membutuhkan karena ada Pak Riswan yang menjadi guru sekaligus motivator hidup untuk bertahan hidup sejak usia 8 tahun, sudah hampir 15 tahun ia membimbingku. Sampai suatu waktu Pak Riswan mengajakku bergabung di sebuah sekolah yang telah lama yang dirikan, sekolah dari tingkat PlayGroup (Pra sekolah) sampai SD, aku diajak untuk membantu mengajar anak-anak di level Pra Sekolah. Kata Pak Riswan aku paling cocok mengajar di tingkat itu, karena memiliki wajah yang baby face, dan ramah. Memang walau batinku terluka karena sakit hati pada ayahku, aku tak pernah tunjukkan sedikit pun wajah kesedihan atau sakit itu. Keceriaan mulai mengisi hari-hariku, karena kesibukan mengajar dan bermain bersama banyak anak-anak. Kelas kecil yang muat untuk bergerak bebas dengan kapasitas 15 anak. Setiap hari bergembira, bernyanyi, mendongeng. Di kelas itu, aku bekerja bersama dua rekan yang lain, Miss Anne dan Miss Syiffa. Memang inilah pola pembelajaran di PlayGroup “Ceria” program kelas yang membiasakan anak-anak memanggil dengan nama Miss dan Mr. Program PlayGroup bilingual (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris). Kutemukan sisi lain kebahagiaan anak-anak, jauh berbeda dengan masa kecilku, terkadang di ruanganku menyalurkan kesedihanku lewat tulisan. Kuharapkan tulisan-tulisan itu mampu menginspirasi dan menggugah para anak-anak utuk kreatif, dan menyalurkan hobby nya. Program yang kubuat efektif , banyak yang terinspirasi dengan tulisanku dan mengikuti jejakku. Kusiapkan beberapa papan untuk menempel hasil karya anak-anak. Dari banyak tulisan, ada satu tulisan yang berkesan, kulihat penulis nya adalah Gerdy. Tulisan nya benar-benar polos dan lugu, menceritakan sisi kehidupan dunia pemulung, setiap hari sepulang sekolah ia menjadi pemulung membantu ibunya, di pagi harinya, berjualan Koran dengan mengambil koran dari loper dekat sekolah, dan membantu berjualan kue di sekolah. Walau usia nya belum genap 8 tahun, namun sudah pandai bercerita. Kesehariaan yang sederhana, dan hanya tinggal bersama ibu nya di sebuah rusun tua. Sebuah gambaran realita kehidupan berbanding jauh dari kehidupanku yang serba kecukupan. Dalam keterbatasan, dan kesulitan hidup, dapat kuamati kehidupan Gerdy lebih bahagia , memiliki ibu yang menyayangi dirinya, saling membantu, dan berusaha bangkit untuk terus hidup, meski berat menjalaninya, mereka berdua menginspirasiku untuk terus bersyukur dan tersenyum. Aku dekatkan emosi ku pada dua orang itu, anak dan ibu. Hubungan batin yang tak pernah kudapat sepanjang hidupku. Ada rasa bangga, sedih, dan senang melihat kehidupan mereka, kesalutan untuk berkorban, tersenyum, adalah anugerah terbesar dalam hidup. Aku bersyukur, Pak Riswan membentuk aku untuk menjadi pribadi baik, dewasa, dan memperkenalkan ke dunia sosial yang kompleks. Banyak pengalaman yang kudapat dari sekolah “Ceria”. Dalam kebisuan hari-hariku, ku mencari sesuatu harapan baru tentang cinta. Masihkah ada keharmonisan? Masih adakah ikatan kekeluargaan? Dalam sepanjang hidupku ini belum pernah kurasakan ada ikatan cinta dalam keluargaku sendiri, sebaliknya kutemukan arti keluarga dari orang lain. Aku terkadang menyesal dan bertanya, mengapa terlahir dari keluarga yang seperti ini, serba keterbatasan emosi, penuh dengan keegoisan masing-masing. Memiliki dunia nya masing-masing, tidak ada pembicaraan yang berarti dan mampu mempersatukan. Malam menjadi teman dan sahabatku, terkadang tak kusadari air mata menetes, entah apa yang kupikirkan aku tak pernah tau, mungkin ini hasil kumulasi dari rasa penyesalan dengan kondisi keluarga ku, Salahkan ya Tuhan, bila aku tak bisa bersyukur? Hanya momen-momen tertentu saja yang mampu mempersatukan kami, itu pun hanya sesaat, sebelum kembali kepada urusan masing-masing, dalam keegoisan. Sampai suatu peristiwa membuatku tersadar , di dunia ini tak ada yang sempurna, ketika kupampang gambar-gambar terbaruku bersama ayah, ada juga yang merasa iri dengan kebahagiaan ku, tapi mereka tak pernah tau bagaimana proses pengorbanan cara berkomunikasi yang begitu alot, layaknya memakan daging yang kurang matang, begitu sakit, tidak mengenakkan. Ketika orang bertanya apa cita-cita dan harapan ku, aku hanya mengatakan, ingin tenang. Dalam hal ini ketenangan mengandung banyak makna , tenang yang sepi, hanya ditemani samar-samar iringan musik jazz atau klasik era Mozart tenang. Yang lain memiliki keluarga yang harmonis, menghangatkan, tak ada pertengkaran, semua menjadi terkontrol. Aku hanya ingin menyendiri di suatu tempat, sambil sesekali menuliskan bait-bait dan syair tentang hidup dan kegalauan hati banyak orang. Tenang yang terkahir adalah kembali pada-Nya dalam keheningan dan kebisuan, tenang kembali menjadi tanah dan debu. Bukankah kodrat manusia, dari debu menjadi debu. Seharusnya beberapa bulan lalu aku telah menjadi debu, namun takdirku berkata lain, aku terselamatkan dari kecelakaan sepulang mengajar dari sekolah. Aku tak mengingat jelas kronologi kecelakaan itu, menurut cerita Bi Surti yang didapat dari informasi pihak rumah sakit dan polisi, mengatakan aku di bawa ke rumah sakit oleh supir taksi yang menemukanku, tergeletak di jalan, aku terlempar cukup jauh, penyebab nya simpang siur, ada yang melihat kejadian, aku mencoba menyelip sebuah truck pengangkut pasir, ada juga yang mengatakan aku ditabrak truck itu. Sampai sekarang, aku juga masih belum dapat mengingat kejadian itu. Setelah mendengar info itu, dengan cepat ayahku lari ke rumah sakit. Nyawaku hampir tak tertolong, aku kehabisan banyak darah, dan kebetulan ayahku memiliki golongan yang sama. Dia mendongorkan darahnya untukku, anak yang tak pernah disayang, selalu dihujati kata-kata kotor. Aku juga mengalami mati suri selama hampir 24 jam, namun akhirnya aku terselamatkan kembali namun dalam keadaan koma. Kecelakaan yang parah. Setelah itu, ayahku dengan setia menemani dan menjagaku, menangisi keadaan ku, hingga sampai suatu hari, kanker yang sudah menggerogoti tubuhnya memasuki stadium tinggi karena ia memikirkan keadaan ku, kurang istirahat, sampai siatu hari ayah meninggalku selamanya ketika aku dalam keadaan koma. Dan sekarang ketika aku kembali sadar, yang tersisa hanyalah darah ayah yang merasuk bercampur darahku, secarik kertas yang menceritakan betapa sayangnya ia padaku, namun karena kepahitan di masa lalu akibat perbuatan keras ayahnya, ia lakukan hal serupa juga padaku. Dalam suratnya ia juga mengucapkan kata permintaan maafnya, telah menghujani ku dengan kata-kata kasar. Aku bersyukur karena sebelum kecelakaan aku masih sempat berfoto, berjalan bersama ayah meski keaadaan tetap kaku, dan dingin. Aku tak pernah menyangka itu adalah momen terakhir bersamanya. Sekarang aku tinggal bersama Bi Surti, dan baru saja, Gerdy dan ibunya kuajak tinggal bersamaku di rumah besar. Ternyata Tuhan menghadiahkan mereka berdua sebagai pengganti ayahku. Sering juga Pak Riswan dan keluarga mengunjungiku, kami sudah seperti keluarga. Selamat jalan ayah, semoga kau tenang di dunia keabadian bersama ibu, Ananda Ryan

Rabu, 03 April 2013

Perempuan Terindah (Cerpen--- True Story)

Perempuan Terindah Nenek ku tercinta Oma Nuryati telah berlalu ke dunia dan dimensi yang lain. Pesonamu, kekuatanmu, telah mampu mengindahkan dunia. Dengan senyuman khas mu, memberikan pesona keramahan. Selera humor dan candaanmu mengingat kami pada kasih tanpa ada beban. Cinta yang kau bagikan begitu suci, murni, tanpa ada dendam terpendam. Jiwa dan ragamu yang sering mengalah, menghindari pertengkaran, tak ada orang yang membencimu. Kedamaian dan ketenangan kau bagikan di tengah-tengah kami. Bangun pagi-pagi menyiapkan segala kebutuhan hidup sehari-hari, memasak, mengantar sekolah, kau sibuk tanpa kenal lelah dan keluh. Baru merebahkan badan di malam lelap dengan ditemani lagu-lagu religi penghantar tidur yang sesaat untuk kembali bangun di subuh hari dan rutinitas. Sekarang, Tuhan telah memanggilmu, jiwa dan ragamu telah tenang tanpa merasakan ada sakit yang berlanjut. Tuhan sungguh amat sayang sehingga IA cepat melepaskan beban sakit yang merasuki tubuhmu. Hanya 1 hari 1 malam, kau berada dalam ruang rumah sakit. Setelah itu kau menghadap sang Pencipta, bersatu di surga dalam hidup baru kekal abadi. Tak usah ada tangisan, karena kami percaya kau telah bahagia. Kami ikhlaskan kepergianmu ke dunia baru Selamat jalan, Oma, kami di dunia ini terus mengenang dan mendoakan mu selalu. Ini adalah sepenggal baris puisi yang sempat kutuliskan saat aku kembali ke kota di mana aku melanjutkan bekerja. Air mata ku tak habis menetes, mengingat kasih dan sayang nenek ku, nenek ku yang biasa kusapa dengan panggilan oma, itu kini telah meninggalkan dunia ini menuju dunia yang baru. Ada kekuatan ikatan batin yang kuat antara aku dan dirinya. Penggalan kisah lama , mewarnai otak ku, memori kenangan lama, saat aku masih bayi, kubuka kembali album foto yang mulai menua dan kuning karena termakan usia, telah lebih dari 20 tahun. Terpampang gambar ketika ku masih bayi, digendong, merayakan ulang tahunku, dan ketika aku belajar bermain piano, ia setia dengan senyum mengamatiku. Kesuksesan ku sekarang sebagai penulis, dan pemain piano, tak lepas dari perhatian dan dukungan Oma. Ketika aku jatuh di saat sulit belajar atau memiliki nilai buruk secara akademik, ia tetap menenangkan hatiku, dan mengajari bagaimana cara harus ikhlas,, menerima kenyataan jika aku harus gagal atau tak naik kelas, sembari bertenun berdoa, memohon yang terbaik untuk anak dan cucu-cunya. Sesuai namanya Nuryati. Ada kata Nur di awal penggalan kata yang memiliki arti Cahaya. Cahaya yang adalah salah satu ciptaan Allah, memberikan sinarnya seperti matahari menghangatkan, atau rembulan di malam hari menghangatkan orang yang melihatnya. Begitu juga dan sikap nenek ku, dalam keseharian ia terlihat ceria, tak ada aura mengeluh, lelah, atau murung Ketika ia sakit, ia sembunyikan rasa sakit itu, dan berkata “Aku baik-baik saja,” dan akan baik-baik saja, sebab Allah menjaga setiap insan yang setia dan bertaqwa padaNya. Keikhlasan dan sikap mengalah mengisi kesehariaan. Secara fisik, ia kurus, ia begitu cekatan dan gesit dalam bekerja, bangun pagi-pagi buta sebelum ayam jago berkokok, bahkan mungkin ketika ayam masih tidur terlelap, oma sudah terbangun dan sibuk menanak nasi, menyiapkan kebutuhan keluarga, menyiapkan hidangan untuk anak-anak sebelum berangkat bekerja. Menyiapkan segala keperluan cucu nya, dan bersiap diri mengantarku ke sekolah. Selepas mengantarkanku, ia tak diam saja, mengambil tas belanja, dan dompet dikempit di ketiak, untuk bergegas cepat menuju pasar, membeli sayur, daging, ayam, buah, dan sedikit gorengan, lalu masak, semua dikerjakan dengan senang, dan hati bersyukur. Matahari mulai meninggi di tengah langit, bertanda waktu telah siang, ia bergegas menuju tempat yang berbeda, dengan menggunakan becak langganan, ia mulai menjemputku dari sekolah. Di kala menunggu anak-anak sekolah sebayaku keluar, ia dan beberapa orang tua lain, asyik bercerita, tertawa, bercanda, selera humor tetap dipancarkan, tak ada sedikit pun aura kesedihan atau keterpaksaan melakukan segala rutinitas. Semua orang tua murid menyukai sikap omaku, bahkan guru-guruku takjub melihat semangatnya. Sepulang sekolah, dalam perjalanan pulang, sering aku dijajakan minuman segar es teh yang dituangkan oleh penjual ke dalam plastik. Sedangkan, ia sendiri menggandengku tanpa minum atau makan. Sering, juga beberapa orang tua murid mengajaknya pergi sebentar ke mall atau supermarket, namun sering juga dia tolak dengan alasan nanti cucuku menunggu dan mencariku. Sikap nya terus mengalah, dan berkorban untuk anak dan cucunya. Tapi semua ia lakukan karena cinta, penuh keikhlasan. Tidak berhenti di sana saja, sepulang saya sekolah, ia sibuk menyiapkan hidangan hasil masakan seharian, di meja, makan bersama. Selepas itu, mencuci piring kotor. Membersihkan kamar, menyirami tanaman, dan di sore hari baru bisa membersihkan sisa-sisa keringat dan kotoran yang menempel pada tubuhnya karena panas dan debu. Mencuci pakaian dirinya sendiri, anak-anak dan cucunya, hingga matahari terbenam di ufuk barat, dan suara adzan magrib mulai terdengar, ia baru dapat merebahkan tubuhnya sembari becanda dan bercerita bersama anak dan cucunya. Kebiasaan dan teladan yang positif ia bagikan bagi keluarga, lingkungan sekitar. Tak jarang juga, jika ada rejeki, ia berbagi kepada “orang kecil” (pedagang pasar) atau pembantu paruh waktu, ia berbagi uang, ataupun hanya sekedar roti atau makanan ringan untuk anak-anak “orang kecil”. Kegiatan rutin itu ia lakukan setiap hari tanpa lelah. Kami sekelurga bersyukur, karena usianya yang tak lagi muda, ia tetap bersemangat tinggi, tak pernah kulihat ia sakit. Pernah suatu waktu, ia terlihat lelah, kita bantu meringankan pekerjaan nya, namun ia malah marah, dan berkata. “Kalau pekerjaanku, kalian kerjakan, aku duduk diam saja, itu membuatku cepat menua, lupa dan menjadi sakit.” Jadi semenjak itu, kita tak ada yang berani melarang gerak langkahnya, membebaskan namun tetap mengontrolnya. Di kala malam menjelang ia mendengarkan radio yang berisi lagu-lagu religi, ia putar hingga puncak malam. Waktu terus berjalan, kita tak mampu melawan waktu, memundurkan waktu, aku beranjak remaja, dan dewasa, oma ku masih suka bermanja denganku. Namun sayang, ketika aku memasuki gerbang universitas. Kutegakan hatiku, meninggalkan ia bersama anak-anaknya. Aku pergi berkelana menuntut ilmu lebih lanjut ke kota lain. Awalnya ia sedih, dan tak rela melepasku, namun dengan bujukan dan kata-kataku akan sering pulang dan mengunjungi, ia ikhlaskan kepergian ku ke kota lain. Di balik kesederhanaan dan keceriaan, sempat kudengar kabar, bahwa ia memiliki masa lalu yang pahit, terpaksa karena desakan orang tua harus berpisah dengan sang suami karena tak mampu memberikan nafkah. Suaminya sempat diusir dan keluar secara paksa dari keluarga. Jika ku yang menjadi posisi itu, amat terluka dan sakit batin. Dengan hati sedih, ia merelakan untuk tetap hidup sendiri, merawat anak-anaknya hingga tumbuh besar. Lalu bagaimana dengan identitas sang suami, tak ada anggota keluarga pun yang mengungkit lagi, berusaha melupakan dan mengubur semua kisah lalu dengan mengatakan bahwa sang suami telah meninggal. Aku pun selaku generasi ketiga keluarga itu sampai detik ini, tak pernah mengetahui nama kakek, apalagi foto, dalam kumpulan foto-foto album yang telah menguning karena termakan usia, tak pernah kujumpai sesosok kakek, jika benar sudah meninggal, mengapa tak kudapatkan gambar rupa dirinya? Ini pasti ada rahasia besar di dalamnya. Mungkin dulu ketika aku kecil, masih mudah dibohongi, namun semenjak aku beranjak remaja dan dewasa aku mulai sadar, tapi sudahlah semua tanda tanya dan misteri rahasia besar ini tetap kusimpan dalam hatiku saja. Hanya alam, bahasa isyarat, waktu, dan Tuhan sang Pencipta yang menyaksikan kisah hidup insan manusia dari masa ke masa. Kembali lagi ke masa di mana aku berpijak ke kota lain, dan melanjutkan aktivitasku, kuliah, pada awal masuk kuliah, aku merasa kehilangan sosok yang memanjakanku, aku seperti kehilangan pegangan, sempat suatu hari, saat puncak kelemahanku, ada hasrat untuk menyudahi hidup yang fana ini. Namun selalu ada saja, tangan-tangan teman yang selalu mencoba menghalangi. Sampai pada akhirnya di tengah perjalanan masa perkuliahan, aku bertemu sosok perempuan. Ia keibuan, perangai sifantnya ceria, menunjukkan gairah hidup yang tinggi, mengingatkan pada sosok oma ku yang jauh tinggal di kota asalku. Aku dibimbingnya, diarahkan, dan diberi banyak kekuatan, motivasi untuk terus bangkit hidup. Hidup ini memang berat, penuh perjuangan, namun kita yang terkadang lemah, harus membagikan senyum, dan wajah keceriaan. Sebab jika kita tersenyum, maka dunia pun akan berbalik tersenyum pada kita. Itu salah satu kata motivasi yang sampai saat ini masih teringat di otakku. Kenyamanan di tempat baru, sempat membuat diriku terlupakan sosok oma, yang masih ada di kota asal, mengharapkan kedatanganku tiap tahun. Sempat 2 tahun aku tak mengunjunginya, tak dapat merasakan aroma tubuhnya, tak dapat merasakan sajian masakan buatannya. Tak merasakan belaian lembut tangannya yang mulai menua keriput karena usia. Hanya lewat telepon, kudapat dengar suaranya , yang tak berubah, penuh kegembiraan, dan tetap menanyakan berkali-kali tak pernah bosan, “kapan kamu akan kembali lagi ke sini”? Aku janjikan akan kembali setelah aku lulus kuliah, karena memang aku sedang sibuk bekerja juga di kampus sebagai assisten dan memberikan bimbel paruh waktu. Itu kulakukan dengan tujuan, tak memberikan banyak beban pada keluarga untuk membiayai finansial kuliah, yang makin lama makin meninggi naik, seperti perubahan kurs pada saat krisis moneter. Gaya hidup di kota ku menuntut ilmu kuliah pun memaksa ku mencari tambahan uang lebih, karena lingkungan sosial tetap menjadi pintu gerbang untuk berkomunikasi. Namun tetap kupilih dan kupilah pergaulan positif dan membangun agar tak terjerumus pada hal buruk. Tahun terus berlalu, aku pun lulus dari kuliahku, dan pada saat ceremony (wisudaku) kuharapkan sosok oma untuk datang, namun kembali lagi dalam kesederhanaan, ia menjawab, aku doakan saja dari sini selamat untuk kesuksesan kamu, oma di sini saja, nanti rumah tidak ada yang urus, dan tidak ada orang masak. Setelah ceremony itu, kuputuskan untuk kembali ke kota asalku, untuk kembali merasakan kehangatan seorang nenek, merasakan masakan nya, dan semua kelembutan, ia benar-benar tak berubah, masih sama seperti yang dulu kukenal. Sayang, waktu memaksaku untuk kembali ke kota menuntut ilmu dan beranjak dari kenyamanan, untuk kembali hidup mandiri. Tak selang lama, aku mendapat pekerjaan, sebagai konsultan, dan semakin tersibukkan, terpaksa hanya memiliki saat istirahat 4-5 jam setiap hari. Di sela-sela kosong malam hari, setiap minggu sekali, oma tetap mengingatkan ku untuk makan, dan menjaga kesehatan. Ia juga selalu rindu padaku, dengan menanyakan kapan mau kembali lagi ke kota asal? Aku mengatakan bahwa pekerjaanku mulai menumpuk, banyak klien yang mulai percaya dan mereferensikan pada rekan lain. Dia dengan sabar, dan terus mendoakan untuk kesuksesan ku dengan bisnis baru. Tak pernah kusangka dan kuduga sebelumnya, tak ada firasat sedikitpun terbesit dalam pikiranku. Pesan dalam telepon itu, adalah kali terakhir di mana aku dapat merasakan sosok nya. Di akhir minggu, di hari Jumat, kudapat kabar, dari kerabat di kota asalku, mengatakan bahwa oma, sekarang sudah tidak bisa apa-apa, terbujur kaku, lemah, di balik sosok keceriaan yang selalu kulihat telah hilang dari pada tubuh menua nya. Kerabat membawa oma, ke rumah sakit, memberikan pengobatan untuk kesembuhan, fasilitas terbaik telah diupayakan, alat pacu jantung, dan pernafasan telah terpasang di tubuh nya. Gambaran kesedihan melingkupi keluarga besar kami, sempat mata nya terbuka dan tersadar, namun tak merespon para dokter, suster, dan kerabat, ia terdiam, bisu, seperti mayat hidup, ia mulai tak tenang dengan alat-alat yang menempel pada tubuhnya, tingkahnya gelisah, rewel, ia tak mampu berbicara, lemah. Kami sudah ikhlas, karena dokter mengatakan potensi untuk sembuh kecil, operasi juga tak mampu dilakukan mengingat faktor usia. Jadi hanya lewat obat, alat pacu jantung, dan pernafasan , serta doa yang mampu menolong. Masa kritis nya selama 5 hari, jika berhasil melewati masa kritis, maka kemungkinan akan menderita stroke berat. Dengan menggunakan transportasi tercepat, aku bergegas ke kota asalku, namun apa yang manusia kehendaki untuk kesembuhannya tak terjawab, Tuhan, Sang Pencipta lebih sayang oma. Sabtu pagi, oma telah berpulang , meninggalkan kita semua. Saat diberi informasi tersebut air mata mengalir deras, tapi aku menarik ulur dan mengambil sisi positif, sesuai dengan permintaan oma, ketika tiba saat nya ia berpulang, ia tak ingin merasakan sakit, merepotkan anggota keluarga, apalagi harus terdiam di kursi roda. Doa dan harapan nya kini telah terkabul Semua orang terdekat dan dijumpai tiap hari terkejut, karena jumat pagi, ia masih beraktivitas belanja di pasar, becanda, terlihat sehat, hanya pada hari itu, menurut pengakuan salah satu penjual di pasar yang datang pada saat pemakaman, oma terlihat seperti orang terburu-buru, namun tetap ramah, sambil melambai-lambaikan tangan. Rupanya lambaikan tangan terakhir tanda perpisahan Sekarang , Kau Perempuan Terindah , telah menuju ke dunia baru. Dunia Kekal menuju Keabadian Sejati Kelak suatu saat nanti kita akan bertemu kembali di surga-Mu Tuhan Kesedihanku adalah cinta ku padanya belum dapat terucap , dan aku belum sempat bertemu di kala-kala detik-detik penderitaannya menuju kematian aku tak ada di sampingnya Semarang, 22-23 Februari 2013

Daun Impainku

Aku kembali lagi dalam dunia yang fana ini... Bersetubuh dengan bumi, matahjari, dan bulan di malam hari ini... Lewat mimpi aku berjalan maju atau mundur,... Mampu mempermainkan sejarah di dalamnya,,, berdasar halusinasi... fatamorgana... dan khayalan... Namun dunia tak pernah sama... ia terus berjalan maju ... Dan berubah setiap waktu.... Bukan jamannya lagi semua tangan harus bekerja secara manual,,, semua dapat cepat terjadi dengan mesin,,, bahkan robot.... Smua di jalankan dengan era hi-tech Siapa yang tak mau mengikuti perkembangan dan perubahan jaman, ia akan tergerus dan berlalu dari dunia ini., tak mampu menjadi pembuat perubahan... Badanku kuhempaskan pada pasir putih penuh kedamaian dan ketenangan... Terhenyak dari mimpi panjang,,, dan harus kutinggalkan masa kenyamanan itu Sbab hidup ini harus seimbang, seperti kepercayaan China Yin-Yang... Agar hidup tak menjadi berat pada satu sisi,,, keseimbangan fisik dan batin... Religius, dan dunia real Kita manusia tak boleh lagi mengeras,,, harus mampu fleksibel... Jika semua hal itu dapat dilakukan hidup ini akan lebih damai dan tenang... Sudut Perubahan dan Kebangkitan --- 04 April 2013---