Perempuan Terindah
Nenek ku tercinta Oma Nuryati telah berlalu ke dunia dan dimensi yang lain. Pesonamu, kekuatanmu, telah mampu mengindahkan dunia. Dengan senyuman khas mu, memberikan pesona keramahan. Selera humor dan candaanmu mengingat kami pada kasih tanpa ada beban. Cinta yang kau bagikan begitu suci, murni, tanpa ada dendam terpendam.
Jiwa dan ragamu yang sering mengalah, menghindari pertengkaran, tak ada orang yang membencimu. Kedamaian dan ketenangan kau bagikan di tengah-tengah kami. Bangun pagi-pagi menyiapkan segala kebutuhan hidup sehari-hari, memasak, mengantar sekolah, kau sibuk tanpa kenal lelah dan keluh. Baru merebahkan badan di malam lelap dengan ditemani lagu-lagu religi penghantar tidur yang sesaat untuk kembali bangun di subuh hari dan rutinitas.
Sekarang, Tuhan telah memanggilmu, jiwa dan ragamu telah tenang tanpa merasakan ada sakit yang berlanjut. Tuhan sungguh amat sayang sehingga IA cepat melepaskan beban sakit yang merasuki tubuhmu. Hanya 1 hari 1 malam, kau berada dalam ruang rumah sakit. Setelah itu kau menghadap sang Pencipta, bersatu di surga dalam hidup baru kekal abadi.
Tak usah ada tangisan, karena kami percaya kau telah bahagia. Kami ikhlaskan kepergianmu ke dunia baru
Selamat jalan, Oma, kami di dunia ini terus mengenang dan mendoakan mu selalu.

Ini adalah sepenggal baris puisi yang sempat kutuliskan saat aku kembali ke kota di mana aku melanjutkan bekerja. Air mata ku tak habis menetes, mengingat kasih dan sayang nenek ku, nenek ku yang biasa kusapa dengan panggilan oma, itu kini telah meninggalkan dunia ini menuju dunia yang baru.
Ada kekuatan ikatan batin yang kuat antara aku dan dirinya. Penggalan kisah lama , mewarnai otak ku, memori kenangan lama, saat aku masih bayi, kubuka kembali album foto yang mulai menua dan kuning karena termakan usia, telah lebih dari 20 tahun. Terpampang gambar ketika ku masih bayi, digendong, merayakan ulang tahunku, dan ketika aku belajar bermain piano, ia setia dengan senyum mengamatiku.
Kesuksesan ku sekarang sebagai penulis, dan pemain piano, tak lepas dari perhatian dan dukungan Oma. Ketika aku jatuh di saat sulit belajar atau memiliki nilai buruk secara akademik, ia tetap menenangkan hatiku, dan mengajari bagaimana cara harus ikhlas,, menerima kenyataan jika aku harus gagal atau tak naik kelas, sembari bertenun berdoa, memohon yang terbaik untuk anak dan cucu-cunya. Sesuai namanya Nuryati. Ada kata Nur di awal penggalan kata yang memiliki arti Cahaya. Cahaya yang adalah salah satu ciptaan Allah, memberikan sinarnya seperti matahari menghangatkan, atau rembulan di malam hari menghangatkan orang yang melihatnya.
Begitu juga dan sikap nenek ku, dalam keseharian ia terlihat ceria, tak ada aura mengeluh, lelah, atau murung
Ketika ia sakit, ia sembunyikan rasa sakit itu, dan berkata “Aku baik-baik saja,” dan akan baik-baik saja, sebab Allah menjaga setiap insan yang setia dan bertaqwa padaNya. Keikhlasan dan sikap mengalah mengisi kesehariaan. Secara fisik, ia kurus, ia begitu cekatan dan gesit dalam bekerja, bangun pagi-pagi buta sebelum ayam jago berkokok, bahkan mungkin ketika ayam masih tidur terlelap, oma sudah terbangun dan sibuk menanak nasi, menyiapkan kebutuhan keluarga, menyiapkan hidangan untuk anak-anak sebelum berangkat bekerja.
Menyiapkan segala keperluan cucu nya, dan bersiap diri mengantarku ke sekolah.
Selepas mengantarkanku, ia tak diam saja, mengambil tas belanja, dan dompet dikempit di ketiak, untuk bergegas cepat menuju pasar, membeli sayur, daging, ayam, buah, dan sedikit gorengan, lalu masak, semua dikerjakan dengan senang, dan hati bersyukur.
Matahari mulai meninggi di tengah langit, bertanda waktu telah siang, ia bergegas menuju tempat yang berbeda, dengan menggunakan becak langganan, ia mulai menjemputku dari sekolah.
Di kala menunggu anak-anak sekolah sebayaku keluar, ia dan beberapa orang tua lain, asyik bercerita, tertawa, bercanda, selera humor tetap dipancarkan, tak ada sedikit pun aura kesedihan atau keterpaksaan melakukan segala rutinitas. Semua orang tua murid menyukai sikap omaku, bahkan guru-guruku takjub melihat semangatnya.
Sepulang sekolah, dalam perjalanan pulang, sering aku dijajakan minuman segar es teh yang dituangkan oleh penjual ke dalam plastik. Sedangkan, ia sendiri menggandengku tanpa minum atau makan. Sering, juga beberapa orang tua murid mengajaknya pergi sebentar ke mall atau supermarket, namun sering juga dia tolak dengan alasan nanti cucuku menunggu dan mencariku.
Sikap nya terus mengalah, dan berkorban untuk anak dan cucunya. Tapi semua ia lakukan karena cinta, penuh keikhlasan. Tidak berhenti di sana saja, sepulang saya sekolah, ia sibuk menyiapkan hidangan hasil masakan seharian, di meja, makan bersama. Selepas itu, mencuci piring kotor.
Membersihkan kamar, menyirami tanaman, dan di sore hari baru bisa membersihkan sisa-sisa keringat dan kotoran yang menempel pada tubuhnya karena panas dan debu. Mencuci pakaian dirinya sendiri, anak-anak dan cucunya, hingga matahari terbenam di ufuk barat, dan suara adzan magrib mulai terdengar, ia baru dapat merebahkan tubuhnya sembari becanda dan bercerita bersama anak dan cucunya.
Kebiasaan dan teladan yang positif ia bagikan bagi keluarga, lingkungan sekitar. Tak jarang juga, jika ada rejeki, ia berbagi kepada “orang kecil” (pedagang pasar) atau pembantu paruh waktu, ia berbagi uang, ataupun hanya sekedar roti atau makanan ringan untuk anak-anak “orang kecil”. Kegiatan rutin itu ia lakukan setiap hari tanpa lelah. Kami sekelurga bersyukur, karena usianya yang tak lagi muda, ia tetap bersemangat tinggi, tak pernah kulihat ia sakit.
Pernah suatu waktu, ia terlihat lelah, kita bantu meringankan pekerjaan nya, namun ia malah marah, dan berkata. “Kalau pekerjaanku, kalian kerjakan, aku duduk diam saja, itu membuatku cepat menua, lupa dan menjadi sakit.” Jadi semenjak itu, kita tak ada yang berani melarang gerak langkahnya, membebaskan namun tetap mengontrolnya.
Di kala malam menjelang ia mendengarkan radio yang berisi lagu-lagu religi, ia putar hingga puncak malam.
Waktu terus berjalan, kita tak mampu melawan waktu, memundurkan waktu, aku beranjak remaja, dan dewasa, oma ku masih suka bermanja denganku. Namun sayang, ketika aku memasuki gerbang universitas. Kutegakan hatiku, meninggalkan ia bersama anak-anaknya. Aku pergi berkelana menuntut ilmu lebih lanjut ke kota lain. Awalnya ia sedih, dan tak rela melepasku, namun dengan bujukan dan kata-kataku akan sering pulang dan mengunjungi, ia ikhlaskan kepergian ku ke kota lain.
Di balik kesederhanaan dan keceriaan, sempat kudengar kabar, bahwa ia memiliki masa lalu yang pahit, terpaksa karena desakan orang tua harus berpisah dengan sang suami karena tak mampu memberikan nafkah. Suaminya sempat diusir dan keluar secara paksa dari keluarga. Jika ku yang menjadi posisi itu, amat terluka dan sakit batin. Dengan hati sedih, ia merelakan untuk tetap hidup sendiri, merawat anak-anaknya hingga tumbuh besar. Lalu bagaimana dengan identitas sang suami, tak ada anggota keluarga pun yang mengungkit lagi, berusaha melupakan dan mengubur semua kisah lalu dengan mengatakan bahwa sang suami telah meninggal.
Aku pun selaku generasi ketiga keluarga itu sampai detik ini, tak pernah mengetahui nama kakek, apalagi foto, dalam kumpulan foto-foto album yang telah menguning karena termakan usia, tak pernah kujumpai sesosok kakek, jika benar sudah meninggal, mengapa tak kudapatkan gambar rupa dirinya? Ini pasti ada rahasia besar di dalamnya. Mungkin dulu ketika aku kecil, masih mudah dibohongi, namun semenjak aku beranjak remaja dan dewasa aku mulai sadar, tapi sudahlah semua tanda tanya dan misteri rahasia besar ini tetap kusimpan dalam hatiku saja. Hanya alam, bahasa isyarat, waktu, dan Tuhan sang Pencipta yang menyaksikan kisah hidup insan manusia dari masa ke masa.
Kembali lagi ke masa di mana aku berpijak ke kota lain, dan melanjutkan aktivitasku, kuliah, pada awal masuk kuliah, aku merasa kehilangan sosok yang memanjakanku, aku seperti kehilangan pegangan, sempat suatu hari, saat puncak kelemahanku, ada hasrat untuk menyudahi hidup yang fana ini. Namun selalu ada saja, tangan-tangan teman yang selalu mencoba menghalangi.
Sampai pada akhirnya di tengah perjalanan masa perkuliahan, aku bertemu sosok perempuan. Ia keibuan, perangai sifantnya ceria, menunjukkan gairah hidup yang tinggi, mengingatkan pada sosok oma ku yang jauh tinggal di kota asalku. Aku dibimbingnya, diarahkan, dan diberi banyak kekuatan, motivasi untuk terus bangkit hidup. Hidup ini memang berat, penuh perjuangan, namun kita yang terkadang lemah, harus membagikan senyum, dan wajah keceriaan. Sebab jika kita tersenyum, maka dunia pun akan berbalik tersenyum pada kita. Itu salah satu kata motivasi yang sampai saat ini masih teringat di otakku.
Kenyamanan di tempat baru, sempat membuat diriku terlupakan sosok oma, yang masih ada di kota asal, mengharapkan kedatanganku tiap tahun. Sempat 2 tahun aku tak mengunjunginya, tak dapat merasakan aroma tubuhnya, tak dapat merasakan sajian masakan buatannya. Tak merasakan belaian lembut tangannya yang mulai menua keriput karena usia. Hanya lewat telepon, kudapat dengar suaranya , yang tak berubah, penuh kegembiraan, dan tetap menanyakan berkali-kali tak pernah bosan, “kapan kamu akan kembali lagi ke sini”? Aku janjikan akan kembali setelah aku lulus kuliah, karena memang aku sedang sibuk bekerja juga di kampus sebagai assisten dan memberikan bimbel paruh waktu.
Itu kulakukan dengan tujuan, tak memberikan banyak beban pada keluarga untuk membiayai finansial kuliah, yang makin lama makin meninggi naik, seperti perubahan kurs pada saat krisis moneter. Gaya hidup di kota ku menuntut ilmu kuliah pun memaksa ku mencari tambahan uang lebih, karena lingkungan sosial tetap menjadi pintu gerbang untuk berkomunikasi. Namun tetap kupilih dan kupilah pergaulan positif dan membangun agar tak terjerumus pada hal buruk.
Tahun terus berlalu, aku pun lulus dari kuliahku, dan pada saat ceremony (wisudaku) kuharapkan sosok oma untuk datang, namun kembali lagi dalam kesederhanaan, ia menjawab, aku doakan saja dari sini selamat untuk kesuksesan kamu, oma di sini saja, nanti rumah tidak ada yang urus, dan tidak ada orang masak. Setelah ceremony itu, kuputuskan untuk kembali ke kota asalku, untuk kembali merasakan kehangatan seorang nenek, merasakan masakan nya, dan semua kelembutan, ia benar-benar tak berubah, masih sama seperti yang dulu kukenal.
Sayang, waktu memaksaku untuk kembali ke kota menuntut ilmu dan beranjak dari kenyamanan, untuk kembali hidup mandiri. Tak selang lama, aku mendapat pekerjaan, sebagai konsultan, dan semakin tersibukkan, terpaksa hanya memiliki saat istirahat 4-5 jam setiap hari. Di sela-sela kosong malam hari, setiap minggu sekali, oma tetap mengingatkan ku untuk makan, dan menjaga kesehatan. Ia juga selalu rindu padaku, dengan menanyakan kapan mau kembali lagi ke kota asal? Aku mengatakan bahwa pekerjaanku mulai menumpuk, banyak klien yang mulai percaya dan mereferensikan pada rekan lain. Dia dengan sabar, dan terus mendoakan untuk kesuksesan ku dengan bisnis baru.
Tak pernah kusangka dan kuduga sebelumnya, tak ada firasat sedikitpun terbesit dalam pikiranku. Pesan dalam telepon itu, adalah kali terakhir di mana aku dapat merasakan sosok nya. Di akhir minggu, di hari Jumat, kudapat kabar, dari kerabat di kota asalku, mengatakan bahwa oma, sekarang sudah tidak bisa apa-apa, terbujur kaku, lemah, di balik sosok keceriaan yang selalu kulihat telah hilang dari pada tubuh menua nya. Kerabat membawa oma, ke rumah sakit, memberikan pengobatan untuk kesembuhan, fasilitas terbaik telah diupayakan, alat pacu jantung, dan pernafasan telah terpasang di tubuh nya.
Gambaran kesedihan melingkupi keluarga besar kami, sempat mata nya terbuka dan tersadar, namun tak merespon para dokter, suster, dan kerabat, ia terdiam, bisu, seperti mayat hidup, ia mulai tak tenang dengan alat-alat yang menempel pada tubuhnya, tingkahnya gelisah, rewel, ia tak mampu berbicara, lemah. Kami sudah ikhlas, karena dokter mengatakan potensi untuk sembuh kecil, operasi juga tak mampu dilakukan mengingat faktor usia. Jadi hanya lewat obat, alat pacu jantung, dan pernafasan , serta doa yang mampu menolong. Masa kritis nya selama 5 hari, jika berhasil melewati masa kritis, maka kemungkinan akan menderita stroke berat.
Dengan menggunakan transportasi tercepat, aku bergegas ke kota asalku, namun apa yang manusia kehendaki untuk kesembuhannya tak terjawab, Tuhan, Sang Pencipta lebih sayang oma. Sabtu pagi, oma telah berpulang , meninggalkan kita semua. Saat diberi informasi tersebut air mata mengalir deras, tapi aku menarik ulur dan mengambil sisi positif, sesuai dengan permintaan oma, ketika tiba saat nya ia berpulang, ia tak ingin merasakan sakit, merepotkan anggota keluarga, apalagi harus terdiam di kursi roda. Doa dan harapan nya kini telah terkabul
Semua orang terdekat dan dijumpai tiap hari terkejut, karena jumat pagi, ia masih beraktivitas belanja di pasar, becanda, terlihat sehat, hanya pada hari itu, menurut pengakuan salah satu penjual di pasar yang datang pada saat pemakaman, oma terlihat seperti orang terburu-buru, namun tetap ramah, sambil melambai-lambaikan tangan. Rupanya lambaikan tangan terakhir tanda perpisahan
Sekarang , Kau Perempuan Terindah , telah menuju ke dunia baru.
Dunia Kekal menuju Keabadian Sejati
Kelak suatu saat nanti kita akan bertemu kembali di surga-Mu Tuhan
Kesedihanku adalah cinta ku padanya belum dapat terucap , dan aku belum sempat bertemu di kala-kala detik-detik penderitaannya menuju kematian aku tak ada di sampingnya
Semarang, 22-23 Februari 2013